Ketika sebuah bahtera mengarungi lautan, kadangkala menemui ombak yang mengalun lembut, namun tak jarang pula justru ombak yangbergulung-gulung yang datang menghampiri. Dan ketika kemudian bahtera hampir tenggelam, nahkoda pun memerintahkan untuk menurunkan perahu penyelamat, meninggalkan bahtera tersebut. Demikian pula dengan bahtera rumah tangga. Dengan bermacam alasan, kadangkala suami, sang nahkoda, menitahkan sebuah kalimat pemutus: CERAI. Sebuah kalimat yang mampu memutuskan ikatan yang kokoh, yang mengharamkan kembali apa yang sebelumnya telah dihalalkan, yang menghancurkan mimpi untuk merengkuh kebahagiaan dalam bahtera rumah tangga. Lalu bagaimanakah sebaiknya dalam menyikapi perceraian?
Sikap Proporsional
Islam adalah agama moderat (pertengahan/wasath). Ajarannya yang mulia pun bersifat moderat, tidak ekstrim. Termasuk dalam memandang sebuah perceraian. Sebagian agama menutup rapat pintu perceraian, memandangnya sebagai sesuatu yang haram, sementara sebagian manusia tidak memasang penghalang pintu cerai, begitu gampang melakukan perceraian. Kapan ingin cerai, terjadilah perceraian.
Walaupun Islam sendiri sebenarnya membenci sebuah perceraian, namun tidak mengharamkannya secara mutlak. Dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa ada perkataan hikmah yang menggambarkan cerai sebagai sesuatu yang halal tapi dibenci oleh Allah. Kebencian Islam tehadap cerai bukan dengan menutup dan mengunci pintu cerai rapat-rapat. Dalam kondisi tertentu cerai bisa menjadi alternatif pilihan, alternatif cadangan, alternatif terbaik, bahkan terkadang menjadi satu-satunya alternatif.
Semua itu tentunya tergantung kondisi dan situasinya. Sama-sama ada masalah keluarga, belum tentu sama-sama perlu ditempuh perceraian, pun sebaliknya tidak mesti sama-sama tidak bercerai. Prinsipnya cerai merupakan jalan terakhir penyelesaian konflik rumah tangga setelah semua upaya mempertahankan keutuhan hubungan pasutri gagal ditempuh.
Hakikatnya, talak atau cerai sendiri juga merupakan rahmat dari Allah. Artinya dengan rahmat-Nya Allah menghalalkan terjadinya perceraian bagi para hamba-Nya. Hal ini terbukti ketika pada kondisi tertentu cerai menjadi tuntutan atau kewajiban. Misalnya, ketika seorang istri mendapat perlakuan buruk, disiksa, dan didzalimi terus-menerus oleh suaminya. Bentuk sebaliknya, seorang lelaki yang tidak mungkin bertahan dengan istrinya yang amat durhaka, atau karena berbagai alasan lainnya. Jadi disyariatkannya perceraian dalam undang-undang Islam merupakan rahmat dari Allah, karena Dia tidak ingin para hamba-Nya mengalami kesulitan atau kesusahan.
Bisa dibayangkan betapa tersiksanya betin seseorang tatkala dipaksa terus hidup berdampingan dengan orang yang ternyata tidak cocok. Fisikpun bisa rusak bila ternyata pasangan hidupnya suka menyiksa. Karena itu pengharaman mutlak sebuah perceraian sangat bertentangan dengan fitrah manusia.
Mana yang Terbaik?
Bercerai berarti memutuskan tali perjanjian yang kokoh. Kata perjanjian (al-miitsaaq) tidak pernah digambarkan di dalam Al-Quran dengan imbuhan sifat kokoh (ghaliizhaa) di belakangnya, kecuali dalam tiga ayat. Salah satunya adalah perjanjian yang dijadikan pegangan oleh suami dari istrinya.
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.(Al-Quran Surat An-Nisa: 21)
Seorang suami yang bijak tentu tidak mudah melontarkan kata cerai. Demikian juga seorang perempuan yang tahu diri, tidak gampang minta cerai. Dalam kondisi tertentu perceraian bukanlah jalan kebaikan. Perdamaian adalah sesuatu yang lebih baik. Sikap saling mengalah dan mengerti bisa merekatkan hubungan kembali sehingga pintu cerai pun kembali menutup. Dalam kondisi lain cerai justru bisa menjadi jalan yang lebih mendatangan kebaikan, baik bagi mantan istri maupun suami. Daripada hidup dalam perasaan tersiksa, dengan berpisah mungkin akan disadari perlunya kembali bertemu atau kalau tidak mungkin jodoh yang serasi akan tiba.
Jadi jalan terbaik adalah tergantung bagaimana pasutri menyikapi permasalahan yang dihadai, di samping juga apa jenis permasalahan yang dihadapi. Sikap bijkasana yang perlu dikedepankan. Apapun asa kita, di depan masih terbentang jalan menuju ridha-Nya. Perceraian tidaklah menutup asa kita untuk menggapai ridha Allah.
Reff : Rembug Keluarga